Apakah Anda pernah merasa ragu saat ingin memajang foto kenangan bersama keluarga atau orang terkasih di dinding rumah? Di satu sisi, foto menjadi cara kita mengabadikan momen berharga. Namun, di sisi lain, sering muncul pertanyaan tentang bagaimana hukum Islam memajang foto dalam rumah. Isu ini menjadi perdebatan yang menarik, apalagi di era modern di mana dokumentasi visual menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Artikel ini akan mengupas tuntas pandangan syariat, dalil-dalil yang menjadi dasar, hingga memberikan solusi praktis agar kita bisa bersikap bijak sesuai tuntunan agama. Mari kita selami lebih dalam.
Definisi dan Konsep Memajang Foto dalam Islam
Untuk memahami hukum memajang foto, kita perlu meninjau kembali definisinya dalam konteks syariat Islam. Secara bahasa, kata "gambar" dalam bahasa Arab adalah ash-shurah (الصورة) yang mencakup berbagai bentuk visual, baik dua dimensi (lukisan, cetakan) maupun tiga dimensi (patung). Namun, kemunculan teknologi fotografi menciptakan dimensi baru yang memicu ijtihad para ulama.
Apa yang Dimaksud dengan Memajang Foto?
Memajang foto di sini adalah meletakkan atau menggantungkan gambar-gambar makhluk bernyawa (manusia, hewan) sebagai hiasan atau kenang-kenangan di dinding, lemari, atau tempat-tempat yang terlihat jelas di dalam rumah. Ini berbeda dengan menyimpan foto di album, dompet, atau media digital yang tidak bertujuan untuk dipamerkan. Fokus utama pembahasan ini adalah pada tindakan "memajang" dan implikasinya.
Sejarah dan Perkembangan Penggunaan Foto di Dunia Islam
Pada masa awal Islam, masalah "gambar" merujuk pada patung atau lukisan yang dibuat manual oleh tangan manusia. Seni rupa pada saat itu sering digunakan untuk tujuan kesyirikan, seperti menyembah berhala atau meniru ciptaan Allah. Seiring berkembangnya zaman, fotografi muncul pada abad ke-19. Foto dianggap sebagai "penangkapan bayangan" dari realitas, bukan "penciptaan" atau "pembuatan" seperti patung. Perbedaan mendasar inilah yang menjadi titik tolak perbedaan pandangan ulama memajang foto, antara yang mengharamkan secara mutlak dan yang membolehkan dengan syarat.
Dalil dan Dasar Hukum Islam tentang Gambar dan Foto
Perdebatan seputar hukum gambar dan foto tidak muncul tanpa dasar. Ada sejumlah dalil dari Al-Qur'an dan Hadis yang menjadi landasan utama para ulama dalam menetapkan hukum.
Ayat Al-Qur’an yang Sering Dikaitkan
Meskipun tidak ada ayat Al-Qur'an yang secara eksplisit melarang memajang foto, ayat-ayat berikut sering dijadikan dasar oleh para ulama yang mengharamkan segala bentuk penciptaan gambar bernyawa:
قَالَ أَتَعْبُدُونَ مَا تَنْحِتُونَ وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Artinya: "Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu." (QS. Ash-Shaffat: 95-96).
Ayat ini menegaskan bahwa segala sesuatu yang dibuat oleh manusia, termasuk patung, pada dasarnya adalah ciptaan Allah. Tujuan utama ayat ini adalah larangan menyembah patung, namun ada ulama yang memperluas maknanya sebagai larangan membuat sesuatu yang meniru ciptaan Allah.
Hadis Rasulullah tentang Gambar dan Patung
Inilah dalil utama yang menjadi poros perdebatan. Beberapa hadis sahih menyebutkan larangan tentang "al-mushawwirun" (orang yang membuat gambar) dan hukuman yang akan diterima. Hadis yang paling populer adalah:
إِنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
Artinya: "Sesungguhnya orang yang paling keras siksanya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para pembuat gambar." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis lain juga menyebutkan bahwa malaikat tidak akan memasuki rumah yang di dalamnya terdapat anjing atau gambar (shurah).
Penafsiran Para Ulama Klasik vs Kontemporer
Hadis-hadis ini ditafsirkan berbeda oleh para ulama. Ulama klasik cenderung menafsirkan hadis ini secara harfiah, di mana "gambar" mencakup lukisan atau patung makhluk bernyawa yang dibuat untuk diagungkan, disembah, atau menyerupai ciptaan Allah. Mereka berpendapat, membuat gambar merupakan bentuk kesombongan atau upaya menandingi kekuasaan Allah sebagai Al-Khaliq (Sang Maha Pencipta).
Namun, ulama kontemporer memiliki pandangan yang lebih fleksibel, terutama terkait fotografi. Mereka berpendapat bahwa **dalil memajang foto** dalam hadis merujuk pada gambar yang dibuat manual oleh tangan manusia (melukis atau memahat), bukan foto hasil tangkapan kamera. Foto dianggap sebagai "penangkapan bayangan" dari realitas, layaknya pantulan cermin, bukan "penciptaan" baru. Oleh karena itu, foto tidak termasuk dalam kategori "tashwir" (membuat gambar) yang dilarang.
Pandangan Ulama tentang Hukum Memajang Foto di Rumah
Dari perbedaan penafsiran dalil di atas, muncul dua pendapat utama di kalangan ulama mengenai hukum memajang foto.
Pendapat Ulama yang Melarang
Kelompok ini, yang umumnya berasal dari ulama salafi dan sebagian ulama klasik, berpandangan bahwa memajang foto makhluk bernyawa adalah haram secara mutlak. Mereka berargumen bahwa hadis larangan "pembuat gambar" berlaku umum, baik itu dengan tangan atau alat, termasuk kamera. Mereka menganggap foto tetap merupakan "shurah" (gambar) yang dilarang. Alasan mereka adalah:
Alasan Teologis dan Fiqhiyah
- Menyerupai Perbuatan Allah: Membuat atau menghasilkan gambar makhluk bernyawa dianggap menandingi kekuasaan Allah sebagai satu-satunya pencipta.
- Sarana Kesyirikan: Meskipun tidak disembah, memajang foto dapat menjadi sarana mengagungkan manusia, yang berpotensi mengarah pada kesyirikan di masa depan, terutama bagi generasi berikutnya.
- Mencegah Masuknya Malaikat Rahmat: Hadis yang menyebutkan malaikat tidak masuk ke rumah yang ada gambar dianggap berlaku untuk semua jenis gambar, termasuk foto yang dipajang.
Pendapat Ulama yang Membolehkan
Kelompok ini, yang banyak dianut oleh ulama kontemporer dari berbagai mazhab, berpendapat bahwa hukum memajang foto keluarga atau foto lainnya adalah mubah (boleh), selama memenuhi beberapa syarat. Mereka membedakan antara "melukis" atau "memahat" yang dilarang, dengan "memotret" yang dibolehkan. Tokoh seperti Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dan lainnya termasuk dalam kelompok ini. Alasan mereka adalah:
Syarat dan Batasan yang Ditetapkan
- Foto Bukan Patung: Foto bukanlah objek tiga dimensi yang bisa dijadikan sesembahan.
- Bukan Bentuk Peniruan: Foto hanyalah cerminan dari objek yang sudah ada, bukan hasil kreasi dari nol seperti lukisan.
- Tujuan Positif: Memajang foto diperbolehkan jika tujuannya untuk kenang-kenangan, mempererat hubungan keluarga, atau dokumentasi, bukan untuk diagungkan.
- Tidak Mengandung Unsur Haram: Foto tidak boleh memperlihatkan aurat atau hal-hal yang tidak sesuai dengan syariat.
Perbandingan Mazhab dan Fatwa Resmi
Di Indonesia, perdebatan ini juga disikapi oleh berbagai ormas Islam. Meskipun tidak ada fatwa tunggal yang berlaku universal, pandangan mayoritas dapat dirangkum sebagai berikut:
Pandangan NU, Muhammadiyah, dan MUI
- Nahdlatul Ulama (NU): Sebagian besar ulama NU cenderung berpandangan moderat. Mereka membolehkan foto untuk tujuan dokumentasi dan kenangan, asalkan tidak untuk dihormati atau diagungkan. Mereka juga cenderung membedakan antara lukisan/patung dengan fotografi. Buya Yahya, seorang ulama NU terkemuka, menjelaskan bahwa memajang foto adalah masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) yang harus disikapi dengan bijak dan lembut.
- Muhammadiyah: Melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, Muhammadiyah berpendapat bahwa hukum gambar dan foto tidak mutlak haram, melainkan tergantung pada illat atau sebabnya. Jika gambar atau foto tidak mengarah pada kesyirikan, mengagungkan, atau tidak melanggar etika, maka hukumnya boleh.
- Majelis Ulama Indonesia (MUI): Secara umum, MUI tidak mengeluarkan fatwa khusus tentang memajang foto keluarga. Namun, mereka memiliki fatwa terkait konten visual, seperti fatwa haram visualisasi Nabi Muhammad SAW dan haram menyebarkan foto atau konten yang memperlihatkan aurat. Ini menunjukkan bahwa fokus hukum lebih kepada isi dan tujuan dari gambar itu sendiri.
Pendapat Lembaga Fatwa Internasional
Di tingkat internasional, ada keragaman pendapat. Sebagian ulama dari Arab Saudi, seperti Syaikh Muhammad bin Utsaimin, cenderung lebih ketat dan menganggap foto makhluk bernyawa adalah haram kecuali dalam kondisi darurat (seperti untuk KTP atau paspor). Sementara itu, ulama Al-Azhar di Mesir dan banyak ulama di Eropa dan Amerika cenderung lebih moderat, membolehkan fotografi selama tidak dijadikan sarana maksiat atau syirik. Keragaman ini menunjukkan bahwa masalah hukum Islam memajang foto dalam rumah adalah isu ijtihad, bukan masalah pokok akidah yang dilarang secara mutlak.
Studi Kasus: Memajang Foto Keluarga vs Foto Bernyawa Lainnya
Mari kita lihat beberapa contoh praktis yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh Praktis di Masyarakat Modern
- Memajang Foto Pernikahan: Banyak pasangan Muslim memajang foto pernikahan di ruang tamu. Jika tujuannya untuk mengenang momen sakral dan memperkuat ikatan keluarga, mayoritas ulama modern menganggapnya boleh. Namun, jika foto itu terlalu besar, dipajang di tempat shalat, atau menampilkan pose yang kurang pantas, sebagian ulama akan memakruhkannya.
- Foto Orang Tua atau Tokoh: Memajang foto orang tua, guru, atau ulama. Ini sering dilakukan sebagai bentuk penghormatan. Para ulama memperbolehkan, asalkan tidak ada niat mengkultuskan atau mengagungkan secara berlebihan.
- Foto Pemandangan atau Objek Tak Bernyawa: Para ulama sepakat bahwa gambar atau lukisan pemandangan, bunga, atau objek tak bernyawa hukumnya mubah (boleh) karena tidak ada unsur meniru ciptaan Allah dalam konteks makhluk bernyawa.
Sikap Bijak dalam Menyikapi Perbedaan
Mengingat adanya perbedaan pendapat yang sah di antara para ulama, sikap yang paling bijak bagi seorang Muslim adalah:
1. Pahami Dalil: Jangan hanya mengambil kesimpulan dari satu sisi, tapi pahami dalil dari kedua belah pihak.
2. Pilih Pendapat yang Menenangkan Hati: Ikuti pendapat yang paling sesuai dengan keyakinan dan yang paling menenangkan hati Anda. Jika Anda merasa ragu, lebih baik tinggalkan.
3. Hormati Perbedaan: Jangan menyalahkan orang lain yang memilih pendapat berbeda. Ini adalah masalah fiqhiyah, bukan akidah.
Tips Aman & Bijak Memajang Foto di Rumah Sesuai Syariat
Bagi Anda yang ingin tetap memajang foto namun khawatir melanggar syariat, berikut beberapa tips praktis yang bisa Anda terapkan:
Memilih Foto yang Sesuai Etika Islam
- Hindari Foto di Tempat Shalat: Jangan memajang foto di dinding yang menghadap kiblat atau di tempat shalat. Hal ini dapat mengganggu konsentrasi saat beribadah.
- Jauhkan dari Dinding Terlalu Tinggi: Hindari memajang foto di tempat yang terlalu diagungkan. Letakkan di posisi yang wajar, seperti di rak buku atau meja.
- Pilih Foto yang Sederhana: Pilihlah foto-foto sederhana yang tidak terlalu mencolok atau besar, sehingga terhindar dari kesan mengagungkan.
- Pastikan Tidak Ada Unsur Haram: Pastikan foto yang dipajang tidak memperlihatkan aurat atau pose yang tidak pantas.
Memanfaatkan Teknologi Digital sebagai Alternatif
Di era digital ini, kita memiliki banyak alternatif untuk mengabadikan momen tanpa harus memajangnya di dinding. Anda bisa menyimpan foto-foto di album digital, frame digital, atau layanan cloud. Ini adalah solusi terbaik bagi Anda yang ingin berhati-hati dan menghindari perdebatan. Dengan begitu, Anda tetap bisa menikmati kenangan tanpa khawatir melanggar hukum islam memajang foto dalam rumah.
Kesimpulan: Bagaimana Sikap Seorang Muslim?
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa isu hukum Islam memajang foto dalam rumah bukanlah masalah hitam-putih yang bisa dijawab dengan satu kata. Ada perbedaan pandangan yang valid di kalangan ulama, yang didasarkan pada penafsiran dalil yang berbeda. Sebagian ulama mengharamkan secara mutlak dengan alasan meniru ciptaan Allah dan mencegah masuknya malaikat, sementara mayoritas ulama kontemporer membolehkan dengan syarat, karena memandang fotografi berbeda dengan melukis atau memahat.
Sikap terbaik adalah memilih pendapat yang paling sesuai dengan pemahaman dan keyakinan Anda, serta menghindari tindakan yang berpotensi mengarah pada kesyirikan atau kemaksiatan. Jika Anda ragu, memilih untuk tidak memajang foto adalah jalan paling aman. Namun, jika Anda merasa tidak ada niat buruk dan mengikuti pendapat yang membolehkan, lakukanlah dengan bijak dan tetap menjaga adab. Dengan demikian, kita bisa mengambil sikap yang moderat dan tetap berada dalam koridor syariat.